Kamis, 26 Juni 2014

HUKUM ISLAM

MAKALAH
                         PENDIDIKAN AGAMA ISLAM                                              
 HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN MUSLIM DI INDONESIA

DOSEN PENGAMPU : Khalid Rahman, S.Pd.I, M.Pd.I
http://putunesimbahmendel.files.wordpress.com/2012/10/logo-ub-f-mipa.jpg








Kelompok 3:
Fajar Daniyal                          (135090400111018)
Mufid Saifullah                       (135090400111023)
Meri Endika Rani                    (135090401111013)
Nilna Amalia Hasna                 (135090401111037)
Diva Alfreda Hanifah.              (135090407111003)

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014



PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW. Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah mencakup segala aspek kehidupan manusia yang berlaku bagi seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia. Di dalam Agama Islam mempunyai hukum-hukum yang harus dipatuhi yaitu Hukum Islam. Hukum Islam adalah hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadist nabi. Dengan maraknya masa modernisasi, globalisasi, dan adat/kebudayaan sekarang ini, membuat manusia sulit untuk menelaah apakah Hukum Islam yang berlaku di dalam kehidupan sehari-hari sesuai dengan Hukum Islam yang berlaku dalam Islam? Hal ini dapat menimbulkan kontraversi di dalam kehidupan masyarakat, hal ini terjadi karena banyak para ulama’ yang berbeda pendapat.
Oleh karena itu, tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memberikan informasi serta wawasan kepada masyarakat khususnya Umat Islam mengenai Apakah Hukum Islam itu, Sumber-Sumber Hukum Islam, Asas pembinaan Hukum Islam, Fungsi dari Hukum Islam, dan prospek penerapan Hukum Islam, semoga dengan ini masyarakat jauh lebih mengetahui tentang Hukum Islam dan dapat mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.

A.     KAJIAN TEORI
1.      Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan merupakan bagian dari islam. Ada dua istilah yang berhubungan dengan Hukum Islam. Pertama syari’at, kedua fiqh. Syari’at merupakan Hukum Islam yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah. Sementara fiqh merupakan hukum yang ditetapkan pokok-pokoknya saja. Hukum ini dapat atau perlu dikembangkan dengan ijtihad[1]. Hasil pengembangannya inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fiqh.
Hukum Islam kategori syariat bersifat konstan, tetap, maksudnya tetap berlaku di sepanjang jaman, tidak mengenal perubahan dan tidak boleh disesuaikan dengan situasi dan kondisi. Situasi dan kondisilah yang menyesuaikan dengan syari’at. Sedangkan Hukum Islam kategori fiqh bersifat fleksibel, elastis, tidak (harus) berlaku universal, mengenal perubahan, serta dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi.”[2]
Fiqh merupakan penjelasan  dari syari’at yang terang serta pemahaman dan penggalian terhadap kandungan yari’at yang masih samar. Sebagaimana diuraikan di atas, fiqh senantiasa berubah. Karena sifatnya yang berubah-ubah itu, fiqh biasanya disandarkan pada ulama’ mujtahid yang memformulasikannya, seperti fiqh hanafi, fiqh syafi’i, fiqh hanbali, fiqh maliki, dan sebagainya. Sedangkan syari’at senantiasa disandarkan kepada Allah dan Rasulnya.
Mengenai sifat Hukum Islam, yakni: pertama, bidimensional, artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan. Disamping itu, sifat bidimensional yang dimiliki Hukum Islam juga berhubungan dengan sifatnya yang luas atau kompeherensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan saja, tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Kedua, adil. Sifat yang kedua ini mempunyai hubungan yang erat sekali dengan sifat bidimensional. Dalam Hukum Islam, keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi merupakan sifat yang melekat sejak kaidah-kaidah dalam syari’at ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang didambakan oleh setiap manusia baik sebagai individu maupun masyarakat. Sifat yang ketiga adalah individualistik dan kemasyarakatan yang diikat oleh nilai-nilai transendental[3], yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat ini, Hukum Islam memiliki validitas[4] baik bagi perorangan maupun masyarakat.”[5]
Hukum Islam, baik dalam pengertian syari’at maupun fiqh membahas dua lapangan bidang pembahasan, yakni bidang ibadah dan bidang mu’amalah. Bidang ibadah membaha tata cara dan upacara yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah, seperti menjalankan sholat, menjalankan puasa, menunaikan zakat, dan melakanakan haji. Adapun mu’amalah dalam pengertian luas adalah ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia walaupun ketetapan itu terbatas pada yang pokok-pokok saja, seperti perdagangan, pernikahan, kesehatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sifatnya terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad (pemikiran) manusia yang memenuhi syarat yang melakukan hal itu ( M. Daud Ali, 1996).
2.      Sumber Hukum Islam
Sumber hukum dalam ilmu hukum dibagi menjadi dua, materiil dan formil. Sumber hukum materiil merupakan salah satu bidang kajian filsafat hukum yang menentukan dari mana dan apakah suatu hukum sudah dapat dan mempunyai kekuatan yang mengikat sebagai norma yang ditaati. Sedangkan sumber hukum formil berisi tentang aturan yang merupakan hukum positif (yang berlaku), antara lain, perundang-undangan, kebiasaan (adat), yurisprudensi (keputusan hakim), perjanjian (traktat)  dan ilmu pengetahuan hukum.”[6]
Hukum Islam digali dari dalil-dalil yang terperinci dalam Al-Qur’an, Sunnah dan beberapa metode yang di tafsirkan kepada dua sumber uatama tersebut. Pada dasarnya Al-Qur’an dan Sunnah baik secara jelas dan gamblang (eksplisit) maupun samar-samar (implisit) mengandung keseluruhan Hukum Islam. Namun demikian, yang samar-samar perlu digali lebih lanjut dengan menggunakan kemampuan akal, inilah yang biasa disebut dengan ijtihad.”[7]
1.         Al-Qur’an
Al-qur’an berasal dari kata qira’ah, artinya “bacaan”, yaitu kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad (Q.S. Al-Qiyamah : 18). Ada juga yang berpendapat bahwa “ al-qur’an” merupakan kata sifat dari al-qar’u yang  berarti al-jam’u (kumpulan), karena Al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat yang memuat kisah, perintah dan larangan, selain itu juga karena Al-Qur’an mengintisarikan kitab-kitab suci sebelumnya (Taurat, Zabur dan Injil). Menurut Imam Ghazali, kata “Al-Qur’an” adalah nama, bukan kata bentukan. Dari pendapat diatas, maka Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad, memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara  mutawatir, tertulis dalam mushaf[8]; dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri surah al-Nas.
Al-Qur’an mempunyai beberapa nama, antara lain : al-Kitab, Kitabullah, al-Furqan, al-Dzikr, al-Mubin, al-Karim, al-Kalam, al-Nur, dan sebagainya. Al-Qur’an diturunkan dalam bahasa arab, suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat kandungna makna.
Namun demikian bukan berarti semua orang (Arab) yang mahir bahasa Arab dapat memahami Al-Qur’an secara rinci. Menurut Ahmad Amin, para sahabat tidak sanggup memahami kandungan Al-Qur’an hanya dengan mendengar dari Rasullullah. Karena itu, dalam memahaminya diperlukan berbagai ilmu yang menunjang.
Dalam menetapkan hukum ada tiga cara yang dipergunakan Al-Qur’an, yaitu :
a.         Mujamal, Al-Qur’an hanya menerangkan pokok dan kaidah hukum saja, sedangkan perincian dijelaskan dalam Sunnah dan ijtihad para ulama. Cara ini banyak berkaitan denga masalah- masalah ibadah.
b.        Agak jelas dan terperinci, seperti dalam hukum jihad, undang-undang perang ( tawanan, rampasan), hubungan umat islam dengan umat lainnya.
c.         Jelas dan terperinci, berkenaan dengan masalah hutang-piutang, makanan halal-haram, sumpah, memelihara kehormatan wanita dan perkawinan.

Dalam menyimpulkan suatu ayat Al-Qur’an agar dapat dipahami dan diambil sebagai sumber hukum, diperlukan penafsiran, diantara metode penarsiran yang berkembang antara lain:
a.         Tafsir Tahlil, yaitu mengkaji Al-Qur’an dari segala segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan dan mushaf Utsmani. Dalam metode ini ada tujuh macam:
- Tafsir bi al-Ma’tsur,  adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan hadist Rasulullah.
- Tafsir bi al-ra’yi, menafsirkan Al-Qur’an dengan pendapat (akal). Metode ini ada yang menerima dan ada yang menolak.
- Tafasir Sufi, penafsiran yang dilakukan oleh para sufi yang pada umumnya dipengaruhi oleh mistisme[9] (tasawuf).
- Tafsir Fiqh, adalah penafsiran yang dilakukan oleh (tokoh) suatu mazhab[10]  untuk dijadikan dalil atas kebenaran madzhabnya.
- Tafsir Falsafi, menafsirkan Al-Qur’an menggunakan teori-teori filsafat, biasannya berdasarkan pada ilmu kalam dan simantik (logika).
- Tafsir ‘Ilmi, penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang.
- Tafsir Adabi, penafsiran dengan menggunakan segi balaghah dengan kemukjizatan Al-Qur’an. Selain menjelaskan makna, sasaran Al-Qur’an, juga mengungkap hukum-hukum alam dan tatanan kemasyarakatan. Tujuannya menarik dan menumbuhkan kecintaan kepada Al-Qur’an.
b.        Tafsir Ijmali, penafsiran secara singkat , global tanpa uraian panjang lebar dengan penjelasan yang mudah dipahami.
c.         Tafsir Muqaran (membanding), adalah memilih ayat Al-Qur’an lalu mengemukakan penafsiran seorang ulama sekaligus membandingkan penafsirannya dari sisi dan kecenderungan masing-masing.
d.        Tafsir Maudhu’I (tematik), yaitu mengumpulkan ayat-ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang suatu masalah/tema (maudhu) yang mempunyai tujuan dan pengertian yang satu.
2.         Sunnah
Secara etimologi “sunnah” berarti “jalan yang biasa dilalui”, “cara yang senantiasa dilakukan”, “kebiasaan yang selalu dilaksanakan”. Secara terminologi[11] sunnah ( menurut ulama ushul fiqh) adalah seluruh yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan/ penetapan (taqrir). Ada beberapa istilah yang mempunyai kesamaan makna dengan sunnah, antara lain:
-       Hadist, biasa digunakan hanya terbatas kepada apa yang datang dari Nabi SAW.
-       Khabar, digunakan terhadap apa yang datang dari selain Nabi SAW.
-       Atsar, apa yang datang dari sahabat, tabi’in dan orang sesudahnya.

Para ulama sepakat bahwa sunnah merupakan sumber hukum kedua sesudah Al-Qur’an. Hal ini berdasarkan pada Q.S. Ali Imran : 31;  Al-Nisa’:59; Al-Hasyr : 7; Al- Ahzab : 21; dan Hadist Rasul yang artinya, “Sesungguhnya padaku telah diturunkan Al-Qur’an dan sejenisnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Sebagai sumber hukum, sunnah mempunyai tiga fungsi :
a.    Bayan ta’kid, sebagai penetap dan menegaskan hukum- hukum yang terdapat pada Al-Qur’an.
b.    Bayan tafsir, berfungsi sebagai penjelas atau memperinci atau membatasi yang secara umum dijelaskan Al-Qur’an.
c.    Bayan tasyri’ , sunnah berfungsi menetapkan suatu hukum yang secara jelas tidak disebutkan dalam Al-Qur’an.
3.         Ijtihad
Ijtihad berarti “mencurahkan segala kemampuan” dan “memikul beban”. Secara terinologi berarti mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ (Hukum Islam) tentang suatu masalah dari sumber (dalil) hukum yang tafsili/rinci (Al-Qur’an dan sunnah). Dengan demikian dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan suatu upaya (metode) para ulama dalam merumuskan suatu hukum yang secara rinci tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun sunnah.
Terlepas dari pertentangan apakah Ijma’ dan Qiyas masuk dalam sumber Hukum Islam atau tidak, akan dijelaskan beberapa metode ( ijtihad ) yang digunakan ulama dalam memutuskan suatu hukum.

a.    Ijma’
Artinya konsensus atau kesepakatan. Menurut ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para imam mujtahid di kalangan umat islam tentang Hukum Islam pada suatu masa setelah Rasulullah SAW wafat. Ijma harus memenuhi empat unsur, yaitu:
-       Sejumlah mujtahid terlibat langsung dalam menetapkan suatu konsensus,
-       konsensus lahir tanpa memandang perbedaan,
-       konsensus didiringi dengan pendapat masing-masing secara jelas, baik secara tertulis, perkataan dan tindakan.
-       konsensus semua mujtahid dapat diwujudkan dalam suatu keputusan berbentuk hukum.
b.    Qiyas
Secara etimologi qiyas berarti ukuran, membandingkan ( menyamakan sesuatu dengan yang lain). Arti terminologinya, menyamakan sesuatu yang tidak disebut oleh nash (Al-Qur’an dan sunnah) dengan sesuatu yang tidak disebut oleh nash.

c.    Istishlah (al- mashlahah al-mursalah)
Adalah sifat-sifat yang sejalan dengan tindakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta sejalan dengan tujuan syara tetapi tidak terdapat ketentuan yang pasti baik mendukung atau menolak masalah tersebut oleh nash secara rinci.
d.   Istihsan
Berarti memandang dan meyakini baiknya sesuatu. Salah satu metode penetapan hukum yang dipakai oleh madzhab Hanafi, Maliki dan hanbali, sedangkan madzahb Syafi’I menolak.
e.    ‘urf
Yaitu kebiasaan mayoritas umat dalam menilai suatu perkataan atau perbuatan dijadikan salah satu dalil dalam menetapkan hukum.
f.     Sad- al-dzara’i
Yaitu menutup segala cara (jalan) yang menuju kepada suatu perbuatan yang dilarang/merusak.

g.    Istishhab
Arti etimologinya “meminta barsahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatinya” yaitu memberlakukan hukum yang sudah ditetapkan sebagaimana adanya sampai ada dalil yang menunjukan bahwa hukum itu diubah.
h.    Madzhab shahabi
Adalah pendapat para sahabat (baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum di pengadilan) tentang sauatu kasus yang menjadi dasar ulama daalm menentukan hukum.
i.      Syar’u man qabalana
Merupakan hukum syari’at sebelum islam datang yang berkenaaan dengan syari’at islam.
3.      Prinsip Hukum Islam
Terhadap masalah-masalah sosial kemanusiaan yang memerlukan jawaban hukum, Hukum Islam bertitik tolak prinsip-prinsip hukumnya, yakni:
1. Prinsip tauhid
 Tauhid adalah prinsip umum Hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah satu ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dengan kalimat la ilaha illallah (tidak ada tuhan selain Allah). Berdasarkan prinsip ini, maka pelakanaan Hukum Islam merupakan ibadah. Ibadah dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada Allah sebagai manifestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian, tidak boleh terjadi saling menuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lain. Pelaksanaan Hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri kepada keseluruhan kehendak-Nya. Prinsip tauhid ini melahirkan prinsip-prinsip khusus yang berlaku dalam fiqh ibadah, yakni:
a. prinsip berhubungan langsung dengan Allah tanpa perantara. Prinsip ini berarti bahwa tidak seorangpun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib disembah. Nabi dan rasul pun hanyalah manusia pilihan yang bertugas menyampaikan firman-firman Allah. Allah sangat dekat dengan manusia walaupun dia tetap transenden.
b. Beban Hukum (taklif) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, pensucian jiwa, dan pembentukan pribadi yang luhur. Atas dasar prinsip ini, manusia dibebani ibadah sebagai tanda kesyukuran atas nikmat Allah, seperti shadaqah dan sebagainya semata-mata ditujukan demi terpeliharanya akidah dan iman serta pensuciannya.
2. Prinsip Keadilan
Keadilan berarti keseimbangan. Prinsip keadilan meliputi keadilan dalam berbagai hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, hubungan antara manusia dengan sesama manusia dan masyarakatnya, dan hubungan manusia dengan pihak yang terkait. Dalam Hukum Islam keadilan berarti keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia dengan kemampuan manusia untuk melaksanakan kewajiban itu.
3. Prinsip Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf berarti Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa manusia menuju tujuan yang baik dan benar yang dikehendaki dan diridhai oleh Allah. Nahi munkar berarti fungsi kontrol sosialnya. Atas dasar prinsip inilah dalam Hukum Islam mengenal istilah hukum yang lima (al-ahkamul khamsah). Yakni: wajib/fardhu, sunnah, mubah, makruh, dan haram.
4. Prinsip Kemerdekaan dan Kebebasan
Kebebaan dalam arti luas mencangkup berbagai jenis, baik kebebasan individu maupun kebebaan kelompok/golongan. Prinsip kebebasan ini menghendaki agar agama dan Hukum Islam tidak disiarkan berdasarkan paksaan, akan tetapi berdasarkan penjelasan, argumentasi, dan pernyataan yang meyakinkan.


5. Prinsip Persamaan atau Egaliter
Pelaksanaan prinsip ini adalah islam menentang perbudakan. Kemuliaan manusia bukan terletak pada ras dan warna kulit. Kemuliaan manusia adalah karena zat manusianya itu sendiri dan pada tinggi rendahnya ketaqwaan seseorang.
6. Prinsip Ta’awun
Prinsip ta’awun berarti tolong-menolong antara sesama manusia. Prinsip ini diarahkan sesuai dengan prinsip tauhid, terutama dalam meningkatkan kebaikan dan ketaqwaan kepada Allah.
7. Prinsip Toleransi (tasamuh)
Hukum Islam mengharuskan umatnya hidup rukun dan damai di muka bumi ini tanpa memandang ras dan warna kulit. Toleransi yang dikehendaki islam adalah toleransi yang menjamin tidak terlanggarnya hak-hak islam dan umatnya. Toleransi hanya dapat diterima apabila tidak merugikanagama islam.
4.      Fungsi Hukum Islam
Tujuan ditetapkannya Hukum Islam ada lima, yaitu:
1.      Memelihara kemaslahatan Agama
Agama islam harus dipelihara dari ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusak akidah, ibadah akhlaknya. Agama islam memberi perlindungan dari kebebasan bagi penganut agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang dianutnya.
2.      Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku pembunuhan diancam hukuman qishash (pembalasan yang seimbang), sehingga diharapkan agar sebelum orang mau melakukan pembunuhan, dia berpikir dua kali, karena apabila orang dibunuh meninggal, maka pembunuh juga akan menerima hal serupa.
3.      Memelihara Akal
Akal sangat penting peranannya dalam kehidupan di dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, dengan itu manusia dapat mengelola dan memakmurkan dunia dengan sebaik-baiknya.
4.      Memelihara keturunan
Islam mengatur pernikahan dan mengharamkan zina. Islam menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini. Hal ini dilakukan sebagai upaya pemurnian dan pemeliharaan keturunan.
5.      Memelihara harta benda
Pada hakikatnya semua harta benda itu kepunyaan Allah, namun islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena manusia itu sangat tamak pada harta benda, maka islam mengatur supaya jangan sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Islam mensyari’atkan peraturan-peraturan mengenai jual beli, sewa menyewa, gadai dan sebagainya. Islam melarang penipuan, pencurian, dan riba.
5.      Demokrasi Dalam Islam
Perbincangan agama dalam konteks demokrasi, sering kali behadapan dengan persoalan yang bersifat empirik[12]. Masalahnya, bukan karena pada basis empirik nya, agama dan demokrasi terdapat perbedaan. Agama berasal dari wahyu, sementara demokrasi berasal dari kumpulan pemikiran filosofis manusia. Persoalannya adalah kesulitan mencari bukti-bukti historis, misalnya dalam kehidupan politik, yang secara eksplisit mampu menjalaskan  adanya hubungan simbiosis mutualisme antara agama dan demokrasi. Dalam kaitan yang bersifat dialektis[13], agama memberikan dukungan yang positif terhadap demokrasi dan sebaliknya.
Alasan dipilihnya demokrasi sebagai paradigma sosial politik  dalam kehidupan masyarakat adalah karena hakikat etika. Dalam konteks sosial politik,  demokrasi dilihat sebagai satu-satunya bentuk kenegaraan yang memiliki legitimasi[14] etika. Sedangkan agama, menyediakan formulasi- formulasi etika dan moral yang dapat dikembangkan dalam konteks demokrasi.
Untuk melihat hakikat etis agama dan demokrasi, dapat ditinjau dari awal munculnya demokrasi dan muatan teologis-etis[15] dari agama. Dalam sejarahnya, demokrasi muncul sebagai bentuk reaksi dan dekonstruksi terhadap system sebelumnya yang cenderung totaliter, diktator, dan otoriter. Demokrasi pertama-tama menawarkan kerangka pandang filosofis, sebelum dikembangkan dalam suatu sistem politik, pandangan ilosofis yang paling pokok dari demokrasi adalah pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia, yang berimplikasi pada adanya pengakuan ham.
Sementara itu dalam islam, kedaulatan mutlak dan keesaan tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para cendikiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat diangggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan.
Demokrasi Islam dianggap sebagai system yang mengukuhkan konsep-konsep islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah (syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretatif yang mandiri (ijtihad).
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi politik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Syura : 28, yang isinya berupa perintah kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian tidak akan terjadi kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat penting dalam masalah demokrasi, yakini konsensus atau ijma’. konsensus memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan Hukum Islam dan memberikan sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Konsep konsensus memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas. Beberapa cendekiawan kontemporer menyatakan bahwa dalam sejarah islam, karena tidak ada rumusan yang pasti mengenai stuktur Negara dalam Al-Qur’an, legitimasi Negara bergantung pada sejauhmana organisasi dan kekuasaan Negara mencerminkan kehendak umat. Sebab seperti yang pernah ditekankan oleh pada ahli hukum klasis, legitimasi pranata-pranata Negara tidak berasal dari sumber tekstual tetapi terutama didasarkan pada prinsip ijma’ . atas dasar inilah konsensus dapat menjadi legitimasi sekaligus prosedur dalam suatu demokrasi islam.
Selain syura dan ijma’ ada konsep yang yang sangat penting dalam konsep demokrasi islam, yaitu ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju penerapan perintah Tuhan disuatu tempat atau waktu.
6.      Hak dan Kewajiban Asasi dalam Islam
Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah : 56 Allah menyatakan secara implisit bahwa pada hakekatnya jin dan manusia diciptakan untuk mengemban kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban mereka yang utama adalah menyembah Allah. Manusia diciptakan oleh Allah untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya, dan apabila kewajiban-kewajiban itu telah dipenuhi maka dengan sendirinya ia akan memperoleh hak-haknya. Pada hakekatnya hak-hak manusia itu merupakan imbalan daripada kewajiban-kewajiban yang telah ditunaikannya. Salah satu ciri khas Hukum Islam adalah memberikan kepada setiap manusia kewajiban-kewajiban sebagai tugasnya yang pertama dan utama, berlainan dengan sistem hukum Barat yang mengutamakan hak-hak seseorang.
  
B.   PEMBAHASAN
1.      Penerapan Hukum Islam dalam Kehidupan Muslim
Allah SWT telah menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah secara bertahap sebagai pedoman bagi seluruh umat manusia. Karena seperti yang telah dijelaskan dalam Surat Al-Anbiya ayat 107,
لِلْعَالَمِينَ رَحْمَةً إِلا أَرْسَلْنَاكَ وَمَا
”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam.”
Ketika satu ayat diturunkan, maka segera beliau menyampaikannya. Apabila ayat itu berisi suatu perintah, maka beliau dan kaum muslimin segera melaksanakannya. Apabila berisi larangan, maka beliau dan kaum muslimin juga segera meninggalkan dan menjauhinya. Sehingga, beliau segera menerapkan hukum-hukum tersebut, begitu ayat-ayat tentang hukum itu turun. Tanpa menunggu-nunggu barang sejenak, maupun menangguhkannya.
Itulah penerapan Hukum Islam pada zaman Rasulullah. Penerapan Hukum Islam yang turunnya dari Allah hukumnya adalah wajib sesuai firman-Nya dalam Surat Al-Maidah ayat 49,
اللَّهُ أَنْزَلَ مَا بَعْضِ عَنْ يَفْتِنُوكَ أَنْ وَاحْذَرْهُمْ أَهْوَاءَهُمْ تَتَّبِعْ وَلَا للَّهُ اأَنْزَلَ بِمَا بَيْنَهُمْ احْكُمْ وَأَنِ
لَفَاسِقُونَ النَّاسِ مِنَ اكَثِيرً وَإِنَّ ذُنُوبِهِمْ بِبَعْضِ يُصِيبَهُمْ أَنْ اللَّهُ يُرِيدُ أَنَّمَا فَاعْلَمْ تَوَلَّوْا فَإِنْ إِلَيْكَ
 “Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sungguh, kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik.”
Sedangkan penerapan Hukum Islam pada zaman sekarang lambat laun mengalami degradasi[16] penggunaan Hukum Islam secara menyeluruh. Banyak hukum yang digunakan tidak berasal dari hukum Allah, melainkan dipadu-padankan dengan hasil pemikiran manusia. Penerapan Hukum Islam sekarang lebih mengedepankan pendapat masing-masing individu yang terkadang juga dituliskan dalam perundang-undangan.
Jika penerapannya diserahkan kepada setiap individu, setiap orang akan menyatakan dirinya sebagai hakim, mujtahid[17], dan munafik[18], yang berakibat terjadinya kekacauan struktur sosial. Sebab itu, pemerintah merupakan jalur terbaik untuk menerapkan hukum-hukum itu. Jika cara ini tidak terwujud, maka umat Islam harus turun tangan bekerja sama dengan ikhlas untuk melakukan munasabah[19], amar ma'ruf nahi munkar kepada mereka. Jika mereka tidak menghiraukannya, maka umat Islam harus membentuk sebuah lembaga (as-sulthah) yang memiliki kekuatan hukum sebagai wacana mewujudkan hukum-hukum itu.
Sebagai contoh diterapkannya perda syariat Islam di Bulukumba yang sukses menurunkan kriminalitas hingga 85%. Mantan Bupati Bulukumba, Andi Partabai Pobokori, mengungkapkan, penerapan perda syariat Islam di wilayahnya disambut umat non-Muslim. Mereka merasa tenteram dengan diberlakukannya perda-perda Syariat Islam. “Umat non Muslim juga mendukung penerapan Perda-perda bernuansa syariah di Bulukumba. Ketika ada Kongres Umat Islam di sana, mereka ikut membentangkan spanduk dukungan”.[20]
Diungkapkan juga, sejak diterapkannya Perda syariat Islam pada 2001, tingkat kriminalitas di Bulukumba turun hingga 85%. Tidak ada lagi warung yang menjual minuman keras serta tidak ada lagi perkelahian pelajar. Angka pembunuhan dan pemerkosaan yang dulu tinggi, sekarang menurun drastis.
Keinginan masyarakat untuk menerapkan syariah Islam semakin meningkat. Terbukti dari berbagai survei dan penelitian ilmiah oleh beberapa peneliti di berbagai daerah, diantaranya :
a.       Lukman bin Ma’sa, melalui penelitian berjudul Penerapan Syari’at Islam melalui Peraturan Daerah (Studi Kasus Desa Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan). Dalam skripsi setebal 142 halaman yang diajukan pada 11 April 2007 untuk meraih gelar sarjana strata satu pada Sekolah Tinggi Ilmu Da’wah Mohammad Natsir, Jakarta, ini, Lukman mengemukakan dampak positif Perda Syariat di Desa Padang. Misalnya membuat lenyap penjualan miras dan mabuk-mabukan. Bahkan angka kriminalitas setempat dalam setahun terakhir turun drastis hingga 99% dari sebelum penerapan perda tersebut.
b.      Irfan Noor, peneliti pada Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Banjarmasin, dalam hasil penelitiannya bertajuk Perda Syariat Islam: Kajian tentang Penerapan Syariat Islam di Indonesia mengungkapkan, maraknya gerakan formalisasi syariat Islam di berbagai daerah ke dalam perda bernuansa syariat Islam menunjukkan kegagalan pelayanan negara demokrasi. Masyarakat kemudian menghendaki Syariat Islam yang mencerminkan keadilan dan ketegasan hukum.
c.       Hasil survey Roy Morgan Research pada Juni 2008 yang menunjukkan: 52% rakyat Indonesia menuntut penerapan syariah Islam. Juga senafas dengan hasil Survei World Public Opinion.org bekerjasama dengan University of Maryland Amerika di empat negara Islam (Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Maroko) pada Desember 2006 hingga Februari 2007. Khusus di Indonesia, survei menunjukkan 53% responden menyetujui pelaksanaan syariah Islam.
d.      Hasil survei Gerakan Mahasiswa Nasionalis di kampus-kampus utama di Indonesia tahun 2006 juga membuktikan, bahwa 80% mahasiswa menginginkan syariah Islam diterapkan.
2.      Kontribusi Umat Islam dalam Perundang-Undangan di Indonesia
a.       UUD 1945
                                                              i.      “Dilihat dari segi naskah dan isinya, UUD 1945 tidak bertentangan dengan islam (islami), sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Subardja, bahwa kedudukan agama dalam UUD 1945 cukup mantap dan terhormat, suasana keagamaan di Indonesia cukup baik dan “semarak”, ibadah dapat dilaksanakan tanpa ada rintangan dari pemerintah, bahkan memberi jaminan dan dorongan.”[21]
                                                            ii.      “Teuku Muhammad  Radhi mengemukakan, salah satu syarat agar hukum dapat berlaku dengan baik dalam masyarakat antara lain, hukum tersebut harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Bisa dipahami bila masyarakat Indonesia yang mayoritas islam menghendaki agar dalam penyusunan hukum nasional hendaknya memperhatikan Hukum Islam dan tidak bertentangan dengan Hukum Islam.”[22]
b.      Perundangan Lainnya
                                                              i.      Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Dalam Piagam Jakarta, redaksi sila pertama Pancasila adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam bagi pemeluk-pemeluknya.”
                                                            ii.      Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 (Pedoman Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980) tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan adanya kewajiban mengeluarkan zakat sebelum dilakukan pembagian dalam perjanjian bagi hasil tersebut.
                                                          iii.      Undang-Undang Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari 1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
                                                          iv.      Undang-Undang Peradilan Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember 1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3400).
                                                            v.      Undang-Undang Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU ini adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah yang antara lain meliputi: bank syari'ah, lembaga keuangan mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi[23] syari'ah, reksadana  syari'ah, obligasi[24] syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas[25] syari'ah, pembiayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah.
                                                          vi.      Undang-Undang Pengelolaan Zakat Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No. 164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
                                                        vii.      Kompilasi Hukum Islam Perwujudan hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan bagi kesatuan Hukum Islam.
                                                      viii.      Undang-undang tentang Wakaf Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4459).
                                                          ix.      Undang-undang Tentang Perbankan Syari'ah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad yang sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. 
C.    KESIMPULAN
Hukum Islam adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama Islam. Konsepsi Hukum Islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Hukum Islam telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam, minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari Hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku. Adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan Hukum Islam secara penuh masih menjadi slogan perjuangan terwujudnya Hukum Islam yang sesuai dengan sumber hukum islam.
Apabila umat Islam Indonesia mau melakukan pengkajian hukum Islam, maka kontribusi umat Islam dalam perumusan hukum nasional yang bernafaskan hukum Islam semakin besar. Di samping itu, berbagai problematika hukum Islam yang muncul dalam kehidupan sosial dapat dipecahkan dengan tepat.


DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen PAI. 2012. Buku Daras Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya. Editor cet VII; Subky Hasbi. Malang: Pusat Pembinaan Agama.
















[1] Ijtihad: (1) usaha sungguh-sungguh yg dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan (simpulan) hukum syarak mengenai kasus yg penyelesaiannya belum tertera dl Alquran dan Sunah; (2) pendapat; tafsiran.
[2] Amrullah Ahmad,1996
[3] Transendental: (1) menonjolkan hal-hal yg bersifat kerohanian; (2) sukar dipahami; (3) gaib; (4) abstrak.
[4] Validitas: sifat benar menurut bahan bukti yg ada, logika berpikir, atau kekuatan hukum
[5] M. Tahir Azhary, 1992
[6] Suparman Usman, 2001
[7] Said Agil al-Munawwar, 2002
[8] Mushaf: bagian naskah Al-quran yg bertulis tangan
[9] Mistisme: ajaran yg menyatakan bahwa ada hal-hal yg tidak terjangkau oleh akal manusia
[10] Mazhab: aliran mengenai hukum fikih yg menjadi ikutan umat Islam
[11] Terminologi: ilmu mengenai batasan
[12] Empirik: berdasarkan pengalaman (terutama yg diperoleh dr penemuan, percobaan, pengamatan yg telah dilakukan)
[13] Dialektis: hal berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah
[14] Legitimasi: pernyataan yg sah (menurut undang-undang atau sesuai dengan undang-undang)
[15] Teologis-etis: pengetahuan ketuhanan (mengenai sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci)
[16] Degradasi: kemunduran, kemerosotan, penurunan
[17] Mujtahid: ahli ijtihad
[18] Munafik: berpura-pura percaya atau setia kpd agama dsb, tetapi sebenarnya dalam hatinya tidak;
[19] Munasabah: sesuai; tepat benar
[20] (Andi Partabai Pokobori, 2013).
[21] Ahmad Subardja, 1995
[22] Teuku Muhammad Radhi, 1983
[23] Reasuransi: pengasuransian balik (oleh perusahaan asuransi) atas sesuatu yg telah diasuransikan oleh pihak lain (kpd perusahaan asuransi tsb) kepada perusahaan asuransi lainnya
[24] Obligasi: surat pinjaman dengan bunga tertentu dari pemerintah yg dapat diperjualbelikan
[25] Sekuritas: (1) bukti utang atau bukti pernyataan modal, misal saham, obligasi, wesel, sertifikat, dan deposito; (2)  surat berharga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar