MAKALAH
PENDIDIKAN
AGAMA ISLAM
HUKUM ISLAM DALAM KEHIDUPAN MUSLIM DI INDONESIA
DOSEN
PENGAMPU : Khalid Rahman, S.Pd.I, M.Pd.I
Kelompok
3:
Fajar Daniyal (135090400111018)
Mufid Saifullah (135090400111023)
Meri Endika Rani (135090401111013)
Nilna Amalia Hasna (135090401111037)
Diva Alfreda Hanifah. (135090407111003)
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG
2014
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Agama Islam adalah agama yang terakhir yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Ajaran Islam yang dibawa oleh Rasulullah mencakup segala aspek kehidupan
manusia yang berlaku bagi seluruh umat manusia di seluruh penjuru dunia. Di
dalam Agama Islam mempunyai hukum-hukum yang harus dipatuhi yaitu Hukum Islam. Hukum
Islam adalah hukum yang berasal dari Al-Qur’an dan Hadist nabi. Dengan maraknya
masa modernisasi, globalisasi, dan adat/kebudayaan sekarang ini, membuat
manusia sulit untuk menelaah apakah Hukum Islam yang berlaku di dalam kehidupan
sehari-hari sesuai dengan Hukum Islam yang berlaku dalam Islam? Hal ini dapat
menimbulkan kontraversi di dalam kehidupan masyarakat, hal ini terjadi karena
banyak para ulama’ yang berbeda pendapat.
Oleh karena itu, tujuan dibuatnya makalah ini adalah untuk memberikan
informasi serta wawasan kepada masyarakat khususnya Umat Islam mengenai Apakah
Hukum Islam itu, Sumber-Sumber Hukum Islam, Asas pembinaan Hukum Islam, Fungsi
dari Hukum Islam, dan prospek penerapan Hukum Islam, semoga dengan ini
masyarakat jauh lebih mengetahui tentang Hukum Islam dan dapat
mengaplikasikannya dalam kehidupan sehari-hari.
A.
KAJIAN TEORI
1.
Pengertian Hukum Islam
Hukum Islam adalah
hukum yang bersumber dan merupakan bagian dari islam. Ada dua istilah yang
berhubungan dengan Hukum Islam. Pertama syari’at, kedua fiqh. Syari’at
merupakan Hukum Islam yang ditetapkan secara langsung dan tegas oleh Allah.
Sementara fiqh merupakan hukum yang ditetapkan pokok-pokoknya saja. Hukum ini
dapat atau perlu dikembangkan dengan ijtihad[1].
Hasil pengembangannya inilah yang kemudian dikenal dengan istilah fiqh.
“Hukum
Islam kategori syariat bersifat konstan, tetap, maksudnya tetap berlaku di
sepanjang jaman, tidak mengenal perubahan dan tidak boleh disesuaikan dengan
situasi dan kondisi. Situasi dan kondisilah yang menyesuaikan dengan syari’at.
Sedangkan Hukum Islam kategori fiqh bersifat fleksibel, elastis, tidak (harus)
berlaku universal, mengenal perubahan, serta dapat disesuaikan dengan situasi
dan kondisi.”[2]
Fiqh merupakan
penjelasan dari syari’at yang terang
serta pemahaman dan penggalian terhadap kandungan yari’at yang masih samar.
Sebagaimana diuraikan di atas, fiqh senantiasa
berubah. Karena sifatnya
yang berubah-ubah itu, fiqh biasanya disandarkan pada ulama’ mujtahid yang
memformulasikannya, seperti fiqh hanafi, fiqh syafi’i, fiqh hanbali, fiqh
maliki, dan sebagainya. Sedangkan syari’at senantiasa disandarkan kepada Allah
dan Rasulnya.
“Mengenai
sifat Hukum Islam, yakni: pertama, bidimensional,
artinya mengandung segi kemanusiaan dan segi ketuhanan. Disamping itu, sifat
bidimensional yang dimiliki Hukum Islam juga berhubungan dengan sifatnya yang
luas atau kompeherensif. Hukum Islam tidak hanya mengatur satu aspek kehidupan
saja, tetapi mengatur berbagai aspek kehidupan manusia. Kedua, adil. Sifat yang kedua ini mempunyai
hubungan yang erat sekali dengan sifat bidimensional. Dalam Hukum Islam,
keadilan bukan saja merupakan tujuan, tetapi merupakan sifat yang melekat sejak
kaidah-kaidah dalam syari’at ditetapkan. Keadilan merupakan sesuatu yang
didambakan oleh setiap manusia baik sebagai individu maupun masyarakat. Sifat
yang ketiga adalah individualistik dan kemasyarakatan yang diikat oleh
nilai-nilai transendental[3],
yaitu wahyu Allah yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Dengan sifat ini,
Hukum Islam memiliki validitas[4]
baik bagi perorangan maupun masyarakat.”[5]
Hukum Islam, baik dalam
pengertian syari’at maupun fiqh membahas dua lapangan bidang pembahasan, yakni
bidang ibadah dan bidang mu’amalah. Bidang ibadah membaha tata cara dan upacara
yang wajib dilakukan seorang muslim dalam berhubungan dengan Allah, seperti
menjalankan sholat, menjalankan puasa, menunaikan zakat, dan melakanakan haji.
Adapun mu’amalah dalam pengertian luas adalah
ketetapan Allah yang langsung berhubungan dengan kehidupan sosial manusia
walaupun ketetapan itu terbatas pada yang pokok-pokok saja, seperti
perdagangan, pernikahan, kesehatan, dan sebagainya. Oleh karena itu, sifatnya
terbuka untuk dikembangkan melalui ijtihad (pemikiran) manusia yang memenuhi
syarat yang melakukan hal itu (
M. Daud Ali, 1996).
2.
Sumber Hukum Islam
“Sumber hukum dalam ilmu
hukum dibagi menjadi dua, materiil dan formil. Sumber hukum materiil merupakan
salah satu bidang kajian filsafat hukum yang menentukan dari mana dan apakah
suatu hukum sudah dapat dan mempunyai kekuatan yang mengikat sebagai norma yang
ditaati. Sedangkan sumber hukum formil berisi
tentang aturan yang merupakan hukum positif (yang berlaku), antara lain,
perundang-undangan, kebiasaan (adat), yurisprudensi (keputusan hakim), perjanjian (traktat)
dan ilmu pengetahuan hukum.”[6]
“Hukum Islam digali dari
dalil-dalil yang terperinci dalam Al-Qur’an, Sunnah dan beberapa metode yang di
tafsirkan kepada dua sumber uatama
tersebut. Pada dasarnya Al-Qur’an dan
Sunnah baik secara jelas dan gamblang
(eksplisit) maupun samar-samar (implisit) mengandung keseluruhan Hukum Islam.
Namun demikian, yang samar-samar perlu digali lebih lanjut dengan menggunakan
kemampuan akal, inilah yang biasa disebut dengan ijtihad.”[7]
1.
Al-Qur’an
Al-qur’an
berasal dari kata qira’ah, artinya
“bacaan”, yaitu kitab suci yang diturunkan Allah kepada Nabi Muhammad (Q.S.
Al-Qiyamah : 18). Ada juga yang berpendapat bahwa “ al-qur’an” merupakan kata
sifat dari al-qar’u yang berarti al-jam’u
(kumpulan), karena Al-Qur’an terdiri dari sekumpulan surah dan ayat yang
memuat kisah, perintah dan larangan, selain itu juga karena Al-Qur’an
mengintisarikan kitab-kitab suci sebelumnya (Taurat, Zabur dan Injil). Menurut
Imam Ghazali, kata “Al-Qur’an” adalah nama, bukan kata bentukan. Dari pendapat
diatas, maka Al-Qur’an adalah firman Allah yang diturunkan kepada Muhammad,
memiliki kemukjizatan lafal, membacanya bernilai ibadah, diriwayatkan secara mutawatir, tertulis dalam mushaf[8];
dimulai dari surah al-Fatihah dan diakhiri surah al-Nas.
Al-Qur’an
mempunyai beberapa nama, antara lain : al-Kitab, Kitabullah, al-Furqan,
al-Dzikr, al-Mubin, al-Karim, al-Kalam, al-Nur, dan sebagainya. Al-Qur’an
diturunkan dalam bahasa arab, suatu bahasa yang kaya kosa kata dan sarat kandungna makna.
Namun
demikian bukan berarti semua orang (Arab) yang mahir bahasa Arab dapat memahami
Al-Qur’an secara rinci. Menurut Ahmad Amin, para sahabat tidak sanggup memahami
kandungan Al-Qur’an
hanya dengan mendengar dari Rasullullah. Karena itu, dalam memahaminya
diperlukan berbagai ilmu yang menunjang.
Dalam
menetapkan hukum ada tiga cara yang dipergunakan Al-Qur’an, yaitu :
a.
Mujamal,
Al-Qur’an hanya menerangkan pokok dan kaidah hukum saja, sedangkan perincian
dijelaskan dalam Sunnah dan ijtihad para ulama. Cara ini banyak berkaitan denga
masalah- masalah ibadah.
b.
Agak jelas dan terperinci,
seperti dalam hukum jihad, undang-undang perang ( tawanan, rampasan), hubungan
umat islam dengan umat lainnya.
c.
Jelas dan terperinci,
berkenaan dengan masalah hutang-piutang, makanan halal-haram, sumpah,
memelihara kehormatan wanita dan perkawinan.
Dalam
menyimpulkan suatu ayat Al-Qur’an agar dapat dipahami dan diambil sebagai
sumber hukum, diperlukan penafsiran, diantara metode penarsiran yang berkembang
antara lain:
a.
Tafsir
Tahlil, yaitu mengkaji Al-Qur’an dari segala
segi dan maknanya, ayat demi ayat dan surat demi surat sesuai dengan urutan dan
mushaf Utsmani. Dalam metode ini ada tujuh macam:
- Tafsir
bi al-Ma’tsur, adalah menafsirkan Al-Qur’an dengan hadist
Rasulullah.
- Tafsir
bi al-ra’yi, menafsirkan Al-Qur’an dengan
pendapat (akal). Metode ini ada yang menerima dan ada yang menolak.
- Tafasir
Sufi, penafsiran yang dilakukan oleh para
sufi yang pada umumnya dipengaruhi oleh mistisme[9]
(tasawuf).
- Tafsir
Fiqh, adalah penafsiran yang dilakukan oleh
(tokoh) suatu mazhab[10] untuk dijadikan dalil atas kebenaran
madzhabnya.
- Tafsir
Falsafi, menafsirkan Al-Qur’an menggunakan
teori-teori filsafat, biasannya berdasarkan pada ilmu kalam dan simantik
(logika).
- Tafsir
‘Ilmi,
penafsiran ayat-ayat yang berkaitan dengan ilmu pengetahuan modern yang timbul
pada masa sekarang.
- Tafsir
Adabi, penafsiran dengan menggunakan segi balaghah dengan kemukjizatan Al-Qur’an.
Selain menjelaskan makna, sasaran Al-Qur’an, juga mengungkap hukum-hukum alam
dan tatanan kemasyarakatan. Tujuannya menarik dan menumbuhkan kecintaan kepada
Al-Qur’an.
b.
Tafsir
Ijmali, penafsiran secara singkat , global tanpa
uraian panjang lebar dengan penjelasan yang mudah dipahami.
c.
Tafsir
Muqaran (membanding), adalah memilih ayat
Al-Qur’an lalu mengemukakan penafsiran seorang ulama sekaligus membandingkan
penafsirannya dari sisi dan kecenderungan masing-masing.
d.
Tafsir
Maudhu’I (tematik), yaitu mengumpulkan ayat-ayat
Al-Qur’an yang berbicara tentang suatu masalah/tema (maudhu) yang mempunyai
tujuan dan pengertian yang satu.
2.
Sunnah
Secara
etimologi “sunnah” berarti “jalan yang biasa dilalui”, “cara yang senantiasa
dilakukan”, “kebiasaan yang selalu dilaksanakan”. Secara terminologi[11]
sunnah ( menurut ulama ushul fiqh) adalah seluruh yang disandarkan kepada Nabi
Muhammad, baik perkataan, perbuatan maupun persetujuan/ penetapan (taqrir). Ada
beberapa istilah yang mempunyai kesamaan makna dengan sunnah, antara lain:
-
Hadist, biasa digunakan
hanya terbatas kepada apa yang datang
dari Nabi SAW.
-
Khabar, digunakan
terhadap apa yang datang dari selain Nabi SAW.
-
Atsar, apa yang datang
dari sahabat, tabi’in dan orang
sesudahnya.
Para
ulama sepakat bahwa sunnah merupakan sumber hukum kedua sesudah Al-Qur’an. Hal
ini berdasarkan pada Q.S. Ali Imran : 31;
Al-Nisa’:59; Al-Hasyr : 7; Al- Ahzab : 21; dan Hadist Rasul yang
artinya, “Sesungguhnya padaku telah
diturunkan Al-Qur’an dan sejenisnya” (HR. Bukhari-Muslim).
Sebagai
sumber hukum, sunnah mempunyai tiga fungsi :
a. Bayan
ta’kid, sebagai penetap dan menegaskan hukum- hukum yang terdapat pada
Al-Qur’an.
b. Bayan
tafsir, berfungsi sebagai penjelas atau memperinci atau membatasi yang secara
umum dijelaskan Al-Qur’an.
c. Bayan
tasyri’ , sunnah berfungsi menetapkan suatu hukum yang secara jelas tidak disebutkan
dalam Al-Qur’an.
3.
Ijtihad
Ijtihad
berarti “mencurahkan segala kemampuan” dan “memikul beban”. Secara terinologi
berarti mencurahkan kemampuan untuk mendapatkan hukum syara’ (Hukum Islam) tentang suatu masalah dari
sumber (dalil) hukum yang tafsili/rinci (Al-Qur’an dan sunnah). Dengan demikian
dapat dipahami bahwa ijtihad merupakan suatu upaya (metode) para ulama dalam
merumuskan suatu hukum yang secara rinci tidak disebutkan dalam Al-Qur’an maupun
sunnah.
Terlepas
dari pertentangan apakah Ijma’ dan Qiyas masuk dalam sumber Hukum Islam atau
tidak, akan dijelaskan beberapa metode ( ijtihad ) yang digunakan ulama dalam
memutuskan suatu hukum.
a. Ijma’
Artinya
konsensus atau kesepakatan. Menurut ahli ushul fiqh adalah kesepakatan para
imam mujtahid di kalangan umat islam tentang Hukum Islam pada suatu masa
setelah Rasulullah SAW wafat. Ijma harus memenuhi empat unsur, yaitu:
-
Sejumlah mujtahid
terlibat langsung dalam menetapkan suatu konsensus,
-
konsensus lahir tanpa
memandang perbedaan,
-
konsensus didiringi
dengan pendapat masing-masing secara jelas, baik secara tertulis, perkataan dan
tindakan.
-
konsensus semua
mujtahid dapat diwujudkan dalam suatu keputusan berbentuk hukum.
b. Qiyas
Secara
etimologi qiyas berarti ukuran, membandingkan ( menyamakan sesuatu dengan yang
lain). Arti terminologinya, menyamakan sesuatu yang tidak disebut oleh nash (Al-Qur’an dan sunnah) dengan
sesuatu yang tidak disebut oleh nash.
c. Istishlah
(al- mashlahah al-mursalah)
Adalah
sifat-sifat yang sejalan dengan tindakan perintah Allah SWT dan Rasul-Nya serta
sejalan dengan tujuan syara tetapi tidak terdapat ketentuan yang pasti baik
mendukung atau menolak masalah tersebut oleh nash secara rinci.
d. Istihsan
Berarti
memandang dan meyakini
baiknya sesuatu. Salah satu metode penetapan hukum yang dipakai oleh madzhab
Hanafi, Maliki dan hanbali, sedangkan madzahb Syafi’I menolak.
e. ‘urf
Yaitu
kebiasaan mayoritas umat dalam menilai suatu perkataan atau perbuatan dijadikan
salah satu dalil dalam menetapkan hukum.
f. Sad-
al-dzara’i
Yaitu
menutup segala cara (jalan) yang menuju kepada suatu perbuatan yang
dilarang/merusak.
g. Istishhab
Arti
etimologinya “meminta barsahabat” atau “membandingkan sesuatu dan mendekatinya”
yaitu memberlakukan hukum yang sudah ditetapkan sebagaimana adanya sampai ada
dalil yang menunjukan bahwa hukum itu diubah.
h. Madzhab
shahabi
Adalah
pendapat para sahabat (baik berupa fatwa maupun ketetapan hukum di pengadilan)
tentang sauatu kasus yang menjadi dasar ulama daalm menentukan hukum.
i. Syar’u
man qabalana
Merupakan
hukum syari’at sebelum islam datang yang berkenaaan dengan syari’at islam.
3.
Prinsip Hukum Islam
Terhadap masalah-masalah sosial
kemanusiaan yang memerlukan jawaban hukum, Hukum Islam bertitik tolak
prinsip-prinsip hukumnya, yakni:
1. Prinsip tauhid
Tauhid adalah prinsip
umum Hukum Islam. Prinsip ini menyatakan bahwa semua manusia ada di bawah satu
ketetapan yang sama, yaitu ketetapan tauhid yang dinyatakan dengan kalimat la
ilaha illallah (tidak ada tuhan
selain Allah). Berdasarkan prinsip ini, maka pelakanaan Hukum Islam merupakan
ibadah. Ibadah dalam arti penghambaan manusia dan penyerahan dirinya kepada
Allah sebagai manifestasi kesyukuran kepada-Nya. Dengan demikian, tidak boleh
terjadi saling menuhankan sesama manusia dan atau sesama makhluk lain.
Pelaksanaan Hukum Islam adalah ibadah dan penyerahan diri kepada keseluruhan
kehendak-Nya. Prinsip
tauhid ini melahirkan prinsip-prinsip khusus yang berlaku dalam fiqh ibadah,
yakni:
a. prinsip berhubungan
langsung dengan Allah tanpa perantara. Prinsip ini berarti bahwa tidak
seorangpun manusia dapat menjadikan dirinya sebagai zat yang wajib disembah.
Nabi dan rasul
pun hanyalah manusia pilihan yang bertugas menyampaikan firman-firman Allah.
Allah sangat dekat dengan manusia walaupun dia tetap transenden.
b. Beban Hukum
(taklif) ditujukan untuk memelihara akidah dan iman, pensucian jiwa, dan
pembentukan pribadi yang luhur. Atas dasar prinsip ini, manusia dibebani ibadah
sebagai tanda kesyukuran atas nikmat Allah, seperti shadaqah dan sebagainya
semata-mata ditujukan demi terpeliharanya akidah dan iman serta pensuciannya.
2. Prinsip
Keadilan
Keadilan
berarti keseimbangan. Prinsip keadilan meliputi keadilan dalam berbagai
hubungan antara manusia dengan dirinya sendiri, hubungan antara manusia dengan
sesama manusia dan masyarakatnya, dan hubungan manusia dengan pihak yang
terkait. Dalam Hukum Islam keadilan berarti keseimbangan antara kewajiban yang
harus dipenuhi oleh manusia dengan kemampuan manusia untuk melaksanakan
kewajiban itu.
3. Prinsip
Amar Ma’ruf Nahi Munkar
Amar ma’ruf
berarti Hukum Islam digerakkan untuk merekayasa manusia menuju tujuan yang baik
dan benar yang dikehendaki dan diridhai oleh Allah. Nahi munkar berarti fungsi kontrol
sosialnya. Atas dasar prinsip inilah dalam Hukum Islam mengenal istilah hukum
yang lima (al-ahkamul khamsah). Yakni: wajib/fardhu, sunnah, mubah, makruh, dan
haram.
4. Prinsip
Kemerdekaan dan Kebebasan
Kebebaan dalam
arti luas mencangkup berbagai jenis, baik kebebasan individu maupun kebebaan
kelompok/golongan. Prinsip kebebasan ini menghendaki agar agama dan Hukum Islam
tidak disiarkan berdasarkan paksaan, akan tetapi berdasarkan penjelasan,
argumentasi, dan pernyataan yang meyakinkan.
5. Prinsip
Persamaan atau Egaliter
Pelaksanaan
prinsip ini adalah islam menentang perbudakan. Kemuliaan manusia bukan terletak
pada ras dan warna kulit. Kemuliaan manusia adalah karena zat manusianya itu
sendiri dan pada tinggi rendahnya ketaqwaan seseorang.
6. Prinsip
Ta’awun
Prinsip
ta’awun berarti tolong-menolong antara sesama manusia. Prinsip ini diarahkan
sesuai dengan prinsip tauhid, terutama dalam meningkatkan kebaikan dan
ketaqwaan kepada Allah.
7. Prinsip
Toleransi (tasamuh)
Hukum Islam
mengharuskan umatnya hidup rukun dan damai di muka bumi ini tanpa memandang ras
dan warna kulit. Toleransi yang dikehendaki islam adalah toleransi yang
menjamin tidak terlanggarnya hak-hak islam dan umatnya. Toleransi hanya dapat
diterima apabila tidak merugikanagama islam.
4. Fungsi
Hukum Islam
Tujuan ditetapkannya Hukum Islam ada lima, yaitu:
1. Memelihara
kemaslahatan Agama
Agama islam harus dipelihara dari
ancaman orang-orang yang tidak bertanggung jawab yang hendak merusak akidah,
ibadah akhlaknya. Agama islam memberi perlindungan dari kebebasan bagi penganut
agama lain untuk meyakini dan melaksanakan ibadah menurut agama yang dianutnya.
2. Memelihara Jiwa
Islam melarang pembunuhan dan pelaku
pembunuhan diancam hukuman qishash (pembalasan yang seimbang), sehingga diharapkan
agar sebelum orang mau melakukan pembunuhan, dia berpikir dua kali, karena
apabila orang dibunuh meninggal, maka pembunuh juga akan menerima hal serupa.
3. Memelihara Akal
Akal sangat penting peranannya dalam
kehidupan di dunia ini. Dengan akal, manusia dapat mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi, dengan itu manusia dapat mengelola dan memakmurkan
dunia dengan sebaik-baiknya.
4. Memelihara
keturunan
Islam mengatur pernikahan dan
mengharamkan zina. Islam menetapkan siapa-siapa yang tidak boleh dikawini. Hal
ini dilakukan sebagai upaya pemurnian dan pemeliharaan keturunan.
5. Memelihara harta
benda
Pada hakikatnya semua harta benda itu
kepunyaan Allah, namun islam juga mengakui hak pribadi seseorang. Oleh karena
manusia itu sangat tamak pada harta benda, maka islam mengatur supaya jangan
sampai terjadi bentrokan antara satu sama lain. Islam mensyari’atkan
peraturan-peraturan mengenai jual beli, sewa menyewa, gadai dan sebagainya.
Islam melarang penipuan, pencurian, dan riba.
5. Demokrasi
Dalam Islam
Perbincangan
agama dalam konteks demokrasi, sering kali behadapan dengan persoalan yang
bersifat empirik[12].
Masalahnya, bukan karena pada basis empirik nya, agama dan demokrasi terdapat
perbedaan. Agama berasal dari wahyu, sementara demokrasi berasal dari kumpulan
pemikiran filosofis manusia. Persoalannya adalah kesulitan mencari bukti-bukti historis, misalnya dalam
kehidupan politik, yang secara eksplisit mampu menjalaskan adanya hubungan simbiosis mutualisme antara
agama dan demokrasi. Dalam kaitan yang bersifat dialektis[13],
agama memberikan dukungan yang positif terhadap demokrasi dan sebaliknya.
Alasan dipilihnya demokrasi sebagai paradigma
sosial politik dalam kehidupan
masyarakat adalah karena hakikat etika. Dalam konteks sosial politik, demokrasi dilihat sebagai satu-satunya bentuk
kenegaraan yang memiliki legitimasi[14]
etika. Sedangkan agama, menyediakan formulasi- formulasi etika dan moral yang
dapat dikembangkan dalam konteks demokrasi.
Untuk melihat hakikat etis agama dan
demokrasi, dapat ditinjau dari awal munculnya
demokrasi dan muatan teologis-etis[15]
dari agama. Dalam sejarahnya, demokrasi muncul sebagai bentuk reaksi dan
dekonstruksi terhadap system sebelumnya yang cenderung totaliter, diktator, dan
otoriter. Demokrasi pertama-tama menawarkan kerangka pandang filosofis, sebelum
dikembangkan dalam suatu sistem politik, pandangan ilosofis yang paling pokok
dari demokrasi adalah pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia, yang
berimplikasi pada adanya pengakuan ham.
Sementara itu dalam islam, kedaulatan mutlak
dan keesaan tuhan yang terkandung dalam konsep tauhid dan peranan manusia yang
terkandung dalam konsep khilafah memberikan kerangka yang dengannya para
cendikiawan belakangan ini mengembangkan teori politik tertentu yang dapat
diangggap demokratis. Didalamnya tercakup definisi khusus dan pengakuan
terhadap kedaulatan rakyat, tekanan pada kesamaan derajat manusia, dan
kewajiban rakyat sebagai pengemban pemerintahan.
Demokrasi Islam dianggap sebagai system yang
mengukuhkan konsep-konsep islami yang sudah lama berakar, yaitu musyawarah
(syura), persetujuan (ijma’), dan penilaian interpretatif yang mandiri
(ijtihad).
Perlunya musyawarah merupakan konsekuensi
politik kekhalifahan manusia. Masalah musyawarah ini dengan jelas juga
disebutkan dalam Al-Qur’an surat al-Syura : 28, yang isinya berupa perintah
kepada para pemimpin dalam kedudukan apapun untuk menyelesaikan urusan mereka
yang dipimpinnya dengan cara bermusyawarah. Dengan demikian tidak akan terjadi
kesewenang-wenangan dari seorang pemimpin terhadap rakyat yang dipimpinnya.
Disamping musyawarah ada hal lain yang sangat
penting dalam masalah demokrasi, yakini konsensus atau ijma’. konsensus
memainkan peranan yang menentukan dalam perkembangan Hukum Islam dan memberikan
sumbangan sangat besar pada korpus hukum atau tafsir hukum. Konsep konsensus
memberikan dasar bagi penerimaan sistem yang mengakui suara mayoritas. Beberapa
cendekiawan kontemporer menyatakan bahwa dalam sejarah islam, karena tidak ada
rumusan yang pasti mengenai stuktur Negara dalam Al-Qur’an, legitimasi Negara
bergantung pada sejauhmana organisasi dan kekuasaan Negara mencerminkan
kehendak umat. Sebab seperti yang pernah ditekankan oleh pada ahli hukum
klasis, legitimasi pranata-pranata Negara tidak berasal dari sumber tekstual
tetapi terutama didasarkan pada prinsip ijma’ . atas dasar inilah konsensus
dapat menjadi legitimasi sekaligus prosedur dalam suatu demokrasi islam.
Selain syura’ dan
ijma’ ada konsep yang yang sangat penting dalam konsep demokrasi islam, yaitu
ijtihad. Bagi para pemikir muslim, upaya ini merupakan langkah kunci menuju
penerapan perintah Tuhan disuatu tempat atau waktu.
6. Hak dan
Kewajiban Asasi dalam Islam
Dalam Al-Qur’an surah Al-Maidah : 56 Allah menyatakan secara implisit
bahwa pada hakekatnya jin dan manusia diciptakan untuk mengemban
kewajiban-kewajiban, antara lain kewajiban mereka yang utama adalah menyembah
Allah. Manusia diciptakan oleh Allah untuk menunaikan kewajiban-kewajibannya,
dan apabila kewajiban-kewajiban itu telah dipenuhi maka dengan sendirinya ia
akan memperoleh hak-haknya. Pada hakekatnya hak-hak manusia itu merupakan
imbalan daripada kewajiban-kewajiban yang telah ditunaikannya. Salah satu ciri
khas Hukum Islam adalah memberikan kepada setiap manusia kewajiban-kewajiban
sebagai tugasnya yang pertama dan utama, berlainan dengan sistem hukum Barat
yang mengutamakan hak-hak seseorang.
B.
PEMBAHASAN
1. Penerapan Hukum Islam
dalam Kehidupan Muslim
Allah SWT telah
menurunkan Al-Qur’an kepada Rasulullah secara bertahap sebagai pedoman bagi
seluruh umat manusia. Karena seperti yang telah dijelaskan dalam Surat
Al-Anbiya ayat 107,
لِلْعَالَمِينَ رَحْمَةً إِلا أَرْسَلْنَاكَ
وَمَا
”Dan
tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta
alam.”
Ketika
satu ayat diturunkan, maka segera beliau menyampaikannya. Apabila ayat itu
berisi suatu perintah, maka beliau dan kaum muslimin segera melaksanakannya.
Apabila berisi larangan, maka beliau dan kaum muslimin juga segera meninggalkan
dan menjauhinya. Sehingga, beliau segera menerapkan hukum-hukum tersebut,
begitu ayat-ayat tentang hukum itu turun. Tanpa menunggu-nunggu barang sejenak,
maupun menangguhkannya.
Itulah
penerapan Hukum Islam pada zaman Rasulullah. Penerapan Hukum Islam yang
turunnya dari Allah hukumnya adalah wajib sesuai firman-Nya dalam Surat
Al-Maidah ayat 49,
اللَّهُ أَنْزَلَ مَا بَعْضِ عَنْ يَفْتِنُوكَ أَنْ وَاحْذَرْهُمْ أَهْوَاءَهُمْ
تَتَّبِعْ وَلَا للَّهُ اأَنْزَلَ بِمَا بَيْنَهُمْ احْكُمْ وَأَنِ
لَفَاسِقُونَ النَّاسِ مِنَ اكَثِيرً وَإِنَّ ذُنُوبِهِمْ بِبَعْضِ يُصِيبَهُمْ
أَنْ اللَّهُ يُرِيدُ أَنَّمَا فَاعْلَمْ تَوَلَّوْا فَإِنْ إِلَيْكَ
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di
antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti
keinginan mereka. Dan waspadalah terhadap mereka, jangan sampai mereka
memperdayakan kamu terhadap sebagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.
Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), maka ketahuilah
bahwa sesungguhnya Allah berkehendak menimpakan musibah kepada mereka
disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Sungguh, kebanyakan manusia adalah
orang-orang yang fasik.”
Sedangkan
penerapan Hukum Islam pada zaman sekarang lambat laun mengalami degradasi[16]
penggunaan Hukum Islam secara menyeluruh. Banyak hukum yang digunakan tidak
berasal dari hukum Allah, melainkan dipadu-padankan dengan hasil pemikiran
manusia. Penerapan Hukum Islam sekarang lebih mengedepankan pendapat
masing-masing individu yang terkadang juga dituliskan dalam perundang-undangan.
Jika
penerapannya diserahkan kepada setiap individu, setiap orang akan menyatakan
dirinya sebagai hakim, mujtahid[17],
dan munafik[18],
yang berakibat terjadinya kekacauan struktur sosial. Sebab itu, pemerintah
merupakan jalur terbaik untuk menerapkan hukum-hukum itu. Jika cara ini tidak
terwujud, maka umat Islam harus turun tangan bekerja sama dengan ikhlas untuk
melakukan munasabah[19],
amar ma'ruf nahi munkar kepada mereka. Jika mereka tidak menghiraukannya, maka
umat Islam harus membentuk sebuah lembaga (as-sulthah) yang memiliki
kekuatan hukum sebagai wacana mewujudkan hukum-hukum itu.
Sebagai contoh diterapkannya perda
syariat Islam di Bulukumba yang sukses menurunkan kriminalitas hingga 85%.
Mantan Bupati Bulukumba, Andi Partabai Pobokori, mengungkapkan, penerapan perda
syariat Islam di wilayahnya disambut umat non-Muslim. Mereka merasa tenteram
dengan diberlakukannya perda-perda Syariat Islam. “Umat non Muslim juga
mendukung penerapan Perda-perda bernuansa syariah di Bulukumba. Ketika ada
Kongres Umat Islam di sana, mereka ikut membentangkan spanduk dukungan”.[20]
Diungkapkan
juga, sejak diterapkannya Perda syariat Islam pada 2001, tingkat kriminalitas
di Bulukumba turun hingga 85%. Tidak ada lagi warung yang menjual minuman keras
serta tidak ada lagi perkelahian pelajar. Angka pembunuhan dan pemerkosaan yang
dulu tinggi, sekarang menurun drastis.
Keinginan
masyarakat untuk menerapkan syariah Islam semakin meningkat. Terbukti
dari berbagai survei dan penelitian ilmiah oleh beberapa peneliti di berbagai
daerah, diantaranya :
a. Lukman bin
Ma’sa, melalui penelitian berjudul Penerapan Syari’at Islam melalui Peraturan
Daerah (Studi Kasus Desa Padang Kecamatan Gantarang Kabupaten Bulukumba Provinsi
Sulawesi Selatan). Dalam skripsi setebal 142 halaman yang diajukan pada 11
April 2007 untuk meraih gelar sarjana strata satu pada Sekolah Tinggi Ilmu
Da’wah Mohammad Natsir, Jakarta, ini, Lukman mengemukakan dampak positif Perda
Syariat di Desa Padang. Misalnya membuat lenyap penjualan miras dan
mabuk-mabukan. Bahkan angka kriminalitas setempat dalam setahun terakhir turun
drastis hingga 99% dari sebelum penerapan perda tersebut.
b. Irfan Noor,
peneliti pada Lembaga Kajian Keislaman dan Kemasyarakatan Banjarmasin, dalam
hasil penelitiannya bertajuk Perda Syariat Islam: Kajian tentang Penerapan
Syariat Islam di Indonesia mengungkapkan, maraknya gerakan formalisasi syariat
Islam di berbagai daerah ke dalam perda bernuansa syariat Islam menunjukkan
kegagalan pelayanan negara demokrasi. Masyarakat kemudian menghendaki Syariat
Islam yang mencerminkan keadilan dan ketegasan hukum.
c. Hasil survey
Roy Morgan Research pada Juni 2008 yang menunjukkan: 52% rakyat Indonesia
menuntut penerapan syariah Islam. Juga senafas dengan hasil Survei World Public Opinion.org
bekerjasama dengan University of Maryland Amerika di empat negara Islam
(Indonesia, Pakistan, Mesir, dan Maroko) pada Desember 2006 hingga Februari
2007. Khusus di Indonesia, survei menunjukkan 53% responden menyetujui
pelaksanaan syariah Islam.
d. Hasil survei
Gerakan Mahasiswa Nasionalis di kampus-kampus utama di Indonesia tahun 2006
juga membuktikan, bahwa 80% mahasiswa menginginkan syariah Islam diterapkan.
2. Kontribusi
Umat Islam dalam Perundang-Undangan di Indonesia
a.
UUD 1945
i.
“Dilihat dari segi
naskah dan isinya, UUD 1945 tidak bertentangan dengan islam (islami),
sebagaimana yang dikemukakan oleh Ahmad Subardja, bahwa kedudukan agama dalam
UUD 1945 cukup mantap dan terhormat, suasana keagamaan di Indonesia cukup baik
dan “semarak”, ibadah dapat dilaksanakan tanpa ada rintangan dari pemerintah,
bahkan memberi jaminan dan dorongan.”[21]
ii.
“Teuku
Muhammad Radhi mengemukakan, salah satu
syarat agar hukum dapat berlaku dengan baik dalam masyarakat antara lain, hukum
tersebut harus sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan masyarakat. Bisa dipahami
bila masyarakat Indonesia yang mayoritas islam menghendaki agar dalam
penyusunan hukum nasional hendaknya memperhatikan Hukum Islam dan tidak
bertentangan dengan Hukum Islam.”[22]
b.
Perundangan Lainnya
i.
Dekrit Presiden tanggal 5 Juli 1959, menyatakan bahwa Piagam Jakarta menjiwai dan merupakan
suatu rangkaian kesatuan dengan UUD 1945. Dalam Piagam Jakarta, redaksi sila
pertama Pancasila adalah “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at islam
bagi pemeluk-pemeluknya.”
ii.
Intruksi Presiden Nomor 13 Tahun 1980 (Pedoman
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1980) tentang Perjanjian Bagi Hasil. Pada pasal 4 ayat 2 disebutkan adanya kewajiban
mengeluarkan zakat sebelum dilakukan pembagian dalam perjanjian bagi hasil
tersebut.
iii.
Undang-Undang
Perkawinan Undang-Undang No. 1 Tahun 1974
tentang Perkawinan disahkan dan diundangkan di Jakarta Pada tanggal 2 Januari
1974 (Lembaran Negara Tahun '1974 No. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3019).
iv.
Undang-Undang Peradilan
Agama Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang
Peradilan Agama disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 29 Desember
1989 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1989 No. 49, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 3400).
v.
Undang-Undang
Penyelenggaraan Ibadah Haji, UU ini adalah perbuatan
atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syari'ah yang antara lain
meliputi: bank syari'ah, lembaga keuangan
mikro syari'ah, asuransi syari'ah, reasuransi[23]
syari'ah, reksadana syari'ah, obligasi[24]
syari'ah dan surat berharga berjangka menengah syari'ah, sekuritas[25]
syari'ah, pembiayaan syari'ah, pegadaian syari'ah, dana pensiun lembaga
keuangan syari'ah dan bisnis syari'ah.
vi.
Undang-Undang
Pengelolaan Zakat Undang-Undang Nomor 38
Tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat disahkan dan diundangkan di Jakarta pada
tanggaI 23 September 1999 (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 No.
164, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 3885).
vii.
Kompilasi Hukum Islam Perwujudan
hukum bagi umat Islam di Indonesia terkadang menimbulkan pemahaman yang
berbeda. Akibatnya, hukum yang dijatuhkan sering terjadi perdebatan di kalangan
para ulama. Karena itu diperlukan upaya penyeragaman pemahaman dan kejelasan
bagi kesatuan Hukum Islam.
viii.
Undang-undang tentang
Wakaf Undang-Undang No. 41 Tahun 2004 tentang
Wakaf disahkan dan diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Oktober 2004
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 No. 159, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia No. 4459).
ix.
Undang-undang Tentang
Perbankan Syari'ah. Undang-Undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang
Perbankan, yang diundangkan pada tanggal 10 November 1998, menandai sejarah
baru di bidang perbankan yang mulai memberlakukan sistem ganda duel system
banking di Indonesia, yaitu sistem perbankan konvensional dengan piranti
bunga, dan sistem perbankan dengan peranti akad-akad yang sesuai dengan
prinsip-prinsip syariah.
C.
KESIMPULAN
Hukum Islam
adalah hukum yang bersumber dan menjadi bagian dari agama
Islam. Konsepsi Hukum Islam, dasar, dan kerangka hukumnya ditetapkan oleh
Allah. Hukum tersebut tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan manusia dan
benda dalam masyarakat, tetapi juga hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan
manusia dengan manusia dengan dirinya sendiri, hubungan manusia dengan manusia
lain dalam masyarakat, dan hubungan manusia dengan benda alam sekitarnya.
Hukum Islam
telah turut serta menciptakan tata nilai yang mengatur kehidupan umat Islam,
minimal dengan menetapkan apa yang harus dianggap baik dan buruk, apa yang
menjadi perintah, anjuran, perkenan, dan larangan agama. Banyak keputusan hukum dan unsur yurisprudensial dari
Hukum Islam telah diserap menjadi bagian dari hukum positif yang berlaku. Adanya golongan yang masih memiliki aspirasi teokratis
di kalangan umat Islam dari berbagai negeri sehingga penerapan Hukum Islam
secara penuh masih menjadi slogan perjuangan terwujudnya
Hukum Islam yang sesuai dengan sumber hukum islam.
Apabila umat
Islam Indonesia mau melakukan pengkajian hukum Islam, maka kontribusi umat Islam dalam perumusan hukum
nasional yang bernafaskan hukum Islam semakin besar. Di samping itu, berbagai problematika hukum Islam yang muncul dalam
kehidupan sosial dapat dipecahkan dengan tepat.
DAFTAR PUSTAKA
Tim Dosen PAI. 2012. Buku Daras Pendidikan Agama Islam di Universitas Brawijaya. Editor cet VII; Subky Hasbi. Malang: Pusat
Pembinaan Agama.
[1]
Ijtihad: (1) usaha
sungguh-sungguh yg dilakukan para ahli agama untuk mencapai suatu putusan
(simpulan) hukum syarak mengenai kasus yg penyelesaiannya belum tertera dl
Alquran dan Sunah; (2) pendapat; tafsiran.
[3]
Transendental: (1)
menonjolkan hal-hal yg bersifat kerohanian; (2) sukar dipahami; (3) gaib; (4)
abstrak.
[12] Empirik: berdasarkan pengalaman (terutama yg diperoleh dr penemuan,
percobaan, pengamatan yg telah dilakukan)
[13]
Dialektis: hal
berbahasa dan bernalar dengan dialog sebagai cara untuk menyelidiki suatu masalah
[15] Teologis-etis: pengetahuan ketuhanan (mengenai
sifat Allah, dasar kepercayaan kepada Allah dan agama, terutama berdasarkan pada kitab suci)
[23]
Reasuransi:
pengasuransian balik (oleh perusahaan asuransi) atas sesuatu yg telah
diasuransikan oleh pihak lain (kpd perusahaan asuransi tsb) kepada perusahaan asuransi lainnya
[25]
Sekuritas: (1)
bukti utang atau bukti pernyataan modal, misal saham, obligasi, wesel, sertifikat, dan deposito; (2) surat berharga